Jakarta, Radar BI | Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan subsidi dan kompensasi BBM yang digelontorkan pemerintah hanya memperlebar jurang ketimpangan antara golongan kaya dan miskin. Sebab, sebagian besarnya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas.
Padahal, beban pemerintah untuk belanja subsidi BBM tahun ini mencapai Rp.502,4 triliun. Itu pun tak cukup dan diperkirakan akan habis pada Oktober mendatang.
Dengan kondisi harga minyak dunia yang sudah di atas US$.100 per barel jauh di atas asumsi makro APBN yang sebesar US$70 per barel dan kurs rupiah yang melewati Rp.14.700 per US$ atau di atas asumsi makro Rp.14.457 per US$, diperkirakan total BBM subsidi hingga akhir tahun dapat mencapai Rp.698 triliun.
Jangan lupa angka mendekati Rp.700 triliun, hanya 5 persen subsidi solar dinikmati oleh kelompok miskin.
Untuk BBM jenis pertalite hanya 20 persen dari subsidi kompensasi yang dinikmati oleh keluarga miskin dan rentan, yaitu yang 40 persen pendapatan terbawah, ujarnya di depan Badan Anggaran DPR, Selasa (30/8/2022).
Menurutnya, kenaikan subsidi dan kompensasi BBM tersebut sangat dramatis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ia mengambil contoh 2019 yang nilainya hanya Rp.144 triliun.
Kemudian pada 2020 dan 2021, peningkatan nilai subsidi dan kompensasi tidak terlalu signifikan, yakni masing-masing Rp.199,9 triliun dan Rp.198 triliun.
“Jadi, kalau tahun ini subsidi kompensasi Rp.502,4 triliun bahkan kemungkinan akan melonjak di atas Rp.690 triliun, ini adalah kenaikan yang sungguh sangat dramatis,” jelasnya.
Lantaran hal tersebut, ia menyampaikan kepada parlemen bahwa APBN telah mati-matian menjalankan fungsinya sebagai shock absorber terhadap guncangan akibat kenaikan harga minyak dunia.
Sebab, lebih dari tiga kali lipat subsidi dan kompensasi telah dialokasikan untuk menahan agar daya beli masyarakat terjaga.
“Ini adalah angka yang sungguh luar biasa. Hitungan dalam tabel ini menggambarkan bagaimana perubahan dan kenaikan subsidi dari 2018 hingga 2022 yang melonjak, dan kompensasi yang meledak,” imbuhnya.
Sebagai misal, anggaran subsidi semula hanya melonjak dari Rp.140,4 triliun di 2021 menjadi Rp.134 triliun pada 2022. Namun kenaikan harga yang tak kunjung surut membuat subsidi kembali meningkat tahun ini menjadi Rp.208 triliun atau naik 74,9 persen.
Sementara, anggaran kompensasi, yang semula turun dari Rp.47,9 triliun di 2021 menjadi Rp.18,5 triliun tahun ini, malah meroket menjadi Rp.293,5 triliun.
“Dan ini yang sudah disetujui Badan Anggaran dan tertuang dalam Perpres 98 tahun 2022. Inilah apa yang disebut shock absorber yang nyata dari guncangan. Meskipun kita sudah lakukan kenaikan begitu dramatis subsidi dan kompensasi,” ujarnya.
Karena itu pula, ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo memutuskan agar pengalihan subsidi yang begitu besar tersebut dialihkan sebagian untuk langsung diberikan kepada kelompok yang tidak mampu.
“Karena sungguh kalau ratusan triliun (rupiah) hanya 5 persen dinikmati kelompok tidak mampu dan 20 persen dinikmati kelompok tidak mampu, maka dampaknya kesenjangan semakin besar,” katanya.
Sumber: Fortune Indonesia.