Jakarta, Radar Berita Indonesia | Wacana evaluasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto mendapat dukungan dari Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar yang akrab disapa (Cak Imin).
Wacana ini menyoroti tingginya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dan potensi efisiensi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Prabowo menilai bahwa sistem pemilihan kepala daerah langsung menelan biaya besar, baik bagi negara maupun para kandidat.
Ia mengusulkan metode pemilihan melalui DPRD seperti yang diterapkan di beberapa negara tetangga, yang dinilainya lebih hemat anggaran dan praktis.
Dana yang biasanya digunakan untuk Pilkada dapat dialokasikan ke sektor yang lebih penting, seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan.
Cak Imin mendukung evaluasi ini dengan catatan bahwa mekanismenya perlu didiskusikan secara mendalam.
Menurutnya, demokrasi berbiaya tinggi cenderung menguntungkan pemilik modal besar, sehingga rakyat bisa dirugikan. Namun, ia menekankan pentingnya menjaga hak demokrasi rakyat dalam proses perbaikan sistem.
Polemik terkait ini memunculkan perdebatan, termasuk kekhawatiran bahwa pengalihan wewenang pemilihan kepala daerah ke DPRD dapat mengebiri hak rakyat. Di sisi lain, beberapa pihak mendukung ide ini karena diyakini dapat menekan biaya politik yang mahal.
Diskusi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah perubahan ini benar-benar memberikan manfaat yang signifikan tanpa mengorbankan prinsip demokrasi langsung, kata Cak Imin di Gedung Nusantara IV DPR RI, Senayan, Provinsi Jawa Barat, pada hari Jumat (13/12/2024) malam.
Diskusi terkait evaluasi Pilkada langsung berpotensi memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan, baik di tingkat pemerintahan, akademisi, maupun masyarakat luas. Beberapa poin penting yang dapat menjadi fokus diskusi ke depan meliputi:
1. Efisiensi Biaya vs Kedaulatan Rakyat
Pendukung usulan berargumen bahwa pemilihan oleh DPRD dapat memangkas biaya politik yang tinggi, baik dari sisi negara maupun kandidat. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk program pembangunan yang langsung dirasakan masyarakat.
Penentang usulan menilai bahwa pengalihan pemilihan kepada DPRD dapat mengurangi kedaulatan rakyat. Pilkada langsung selama ini dianggap sebagai wujud demokrasi partisipatif, di mana rakyat memiliki kendali langsung atas siapa yang memimpin mereka.
2. Potensi Korupsi dan Politik Uang
Pemilihan melalui DPRD berpotensi meningkatkan praktik politik uang atau lobi-lobi di antara anggota DPRD, yang dapat merugikan prinsip demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang tidak benar-benar mewakili kepentingan masyarakat.
Sebaliknya, Pilkada langsung juga menghadapi tantangan serupa, terutama terkait mahalnya biaya kampanye yang sering kali mendorong kandidat untuk mencari sponsor dari pihak tertentu.
3. Model Kombinasi atau Hybrid
Beberapa pihak mengusulkan sistem hybrid, di mana pemilihan kepala daerah tingkat tertentu, seperti gubernur, dilakukan melalui DPRD, sementara pemilihan bupati dan wali kota tetap dilakukan secara langsung. Sistem ini dianggap sebagai jalan tengah untuk menjaga efisiensi biaya tanpa sepenuhnya menghilangkan partisipasi langsung rakyat.
4. Revisi Sistem Pilkada Langsung
Alternatif lain adalah memperbaiki sistem Pilkada langsung yang ada, misalnya dengan membatasi anggaran kampanye, memperketat pengawasan, atau memberikan subsidi dari negara untuk kampanye kandidat yang lolos verifikasi.
5. Kajian Perbandingan Internasional
Studi lebih mendalam dapat dilakukan terhadap negara-negara yang menerapkan pemilihan tidak langsung oleh parlemen atau dewan perwakilan, seperti Malaysia dan Singapura. Keberhasilan dan tantangan sistem tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Indonesia.
Tindak Lanjut
Untuk memastikan solusi yang terbaik, pemerintah bersama DPR, partai politik, akademisi, dan masyarakat perlu mengadakan forum diskusi yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, evaluasi menyeluruh harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap demokrasi, tata kelola pemerintahan, dan kepercayaan publik.
Langkah berikutnya kemungkinan adalah pembentukan tim khusus atau panitia kerja untuk mengkaji dan memformulasikan opsi sistem Pilkada baru, sebelum dibahas lebih lanjut di DPR.
Sebelumnya, Prabowo mewacanakan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD dalam pidatonya di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Sentul, pada hari Kamis (12/12/2024) malam.
Ia menilai sebagaimana yang diterapkan di negara lain, sistem itu dinilai lebih efisien dan tak menelan banyak biaya. Prabowo menyebut usul ini akan menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara dalam menggelar Pilkada.
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo.
Prabowo menyebut hal itu turut menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara dalam menggelar Pilkada. Dia juga menyatakan uang anggaran untuk Pilkada itu bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting bagi masyarakat.
“Efisien enggak keluar duit kayak kita kaya, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi,” ucap Prabowo.
“Ini sebetulnya begitu banyak ketum parpol di sini. Sebenarnya kita bisa putuskan malam ini juga, gimana?” Imbuhnya.
Prabowo juga menyinggung mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kontestan di gelaran pilkada. Pria yang juga sebagai Ketua Umum Partai Gerindra ini pun menyatakan bahwa harus ada perbaikan sistem yang harus dibenahi bersama.
“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? dari wajah yang menang pun saya lihat lesu juga yang menang lesu, apalagi yang kalah,” ujar Prabowo.
“Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing,” pungkasnya.