Radar Berita Indonesia | Mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), baru-baru ini mengungkapkan dugaan adanya intervensi dari “tangan berkuasa” dalam praktik korupsi di tubuh Pertamina.
Dalam wawancara dengan kanal YouTube Narasi Newsroom, Ahok menyebut bahwa intervensi tersebut melibatkan oknum dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pihak-pihak berpengaruh lainnya.
Ahok menyoroti bahwa praktik korupsi ini telah berlangsung lama dan melibatkan kongkalikong antara petinggi Pertamina dengan penguasa untuk meraup keuntungan dari BUMN migas tersebut.
Ia juga mengkritik struktur organisasi Pertamina yang kompleks, di mana keputusan strategis, termasuk penggantian direksi, melibatkan peran Menteri BUMN.
Menanggapi potensi pemanggilan dirinya oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi terkait skandal ini, Ahok menyatakan kesiapannya untuk memberikan keterangan secara terbuka dan transparan kepada aparat penegak hukum.
Ia menekankan pentingnya memahami struktur dan jenjang birokrasi di Pertamina sebelum menarik kesimpulan atau menetapkan pihak yang bertanggung jawab.
Pernyataan Ahok ini memicu berbagai reaksi dan spekulasi di kalangan publik, mempertanyakan seberapa dalam akar masalah korupsi di Pertamina dan sejauh mana keterlibatan pihak-pihak eksternal dalam skandal tersebut.
Baru-baru ini, PT Pertamina (Persero) menghadapi sorotan tajam terkait dugaan korupsi yang melibatkan beberapa eksekutifnya.
Lima eksekutif dari tiga anak perusahaan Pertamina ditangkap atas tuduhan korupsi terkait impor minyak antara tahun 2018 dan 2023, yang menyebabkan kerugian negara sebesar $12 miliar.
Mereka diduga menggelembungkan volume impor minyak mentah dan bahan bakar, serta salah menetapkan harga berbagai jenis bensin.
Menanggapi hal ini, CEO Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, secara terbuka meminta maaf dan berjanji untuk meningkatkan transparansi serta tata kelola perusahaan.
Selain itu, mantan Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, Karen Agustiawan, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dalam pengadaan gas alam cair (LNG) pada tahun 2011-2021.
Karen diduga secara sepihak memutuskan kontrak dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC tanpa kajian menyeluruh dan tanpa persetujuan pemerintah, yang mengakibatkan kelebihan pasokan LNG dan kerugian negara sekitar Rp.2,1 triliun.
Sebagai bagian dari penyelidikan kasus tersebut, KPK memanggil Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Ahok memenuhi panggilan KPK dan diperiksa selama sekitar 6,5 jam. Ia menyatakan bahwa selama menjabat sebagai komisaris, dirinya selalu memberikan arahan kepada direksi untuk memitigasi risiko bisnis di Pertamina, termasuk dalam pengadaan LNG.
Namun, Ahok enggan membeberkan materi pemeriksaannya dan menyarankan agar menunggu proses pengadilan untuk informasi lebih lanjut.
Perkembangan ini menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi Pertamina dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di tubuh perusahaan.
Publik menantikan langkah konkret dari manajemen baru Pertamina untuk memastikan praktik korupsi tidak terulang kembali dan perusahaan dapat beroperasi sesuai dengan prinsip good corporate governance.
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina terus berkembang dengan sejumlah perkembangan terbaru:
Kejaksaan Agung telah memeriksa tujuh pejabat di lingkungan Pertamina terkait dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023. Pemeriksaan ini merupakan bagian dari upaya mengungkap kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Komisaris Utama Pertamina, menyatakan kesiapannya untuk diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait kasus ini.
Ia menegaskan akan mendukung penuh proses hukum yang berjalan dan siap memberikan keterangan yang diperlukan.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, secara terbuka meminta maaf atas kasus ini dan berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola perusahaan.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan akan bekerja sama dengan Kementerian Energi untuk memastikan keamanan energi serta mencegah kerugian lebih lanjut bagi negara.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, menilai bahwa kasus ini menunjukkan perlunya langkah bersih-bersih di tubuh Pertamina.
Ia menyoroti bahwa dugaan korupsi yang berlangsung selama periode 2018-2023 tampaknya tidak tersentuh karena adanya “backing” yang kuat.
Fahmy menekankan pentingnya operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas, termasuk pihak-pihak yang mendukungnya, untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Perkembangan ini menunjukkan keseriusan aparat penegak hukum dalam mengusut tuntas kasus korupsi di Pertamina.
Publik berharap proses hukum berjalan transparan dan akuntabel, serta reformasi internal di Pertamina dapat segera dilakukan untuk mencegah praktik korupsi di masa mendatang.