Jakarta, Radar BI | Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmawarta mengatakan, dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar pensiun pegawai negeri sipil (PNS) tiap tahunnya mengalami kenaikan.
Hal ini terjadi karena jumlah pensiun terus bertambah dan angka harapan hidupnya terus meningkat. Karena kesehatan makin baik, hidup juga lebih memadai, ujarnya dalam media briefing di Kantor Kemenkeu, pada hari Senin (29/8/2022).
Tahun ini, misalnya, belanja tersebut diprediksi mencapai Rp.199 triliun. Angka tersebut mengalami tren peningkatan sejak 2018. Pada 2018 dana pensiun PNS hanya Rp.90,82 triliun.
Kemudian, pada 2019 menjadi Rp.99,75 triliun. Lalu 2020 dan 2021 kembali meningkat masing-masing menjadi Rp.104,97 triliun dan Rp.112 triliun.
Menurut Isa, besarnya anggaran pensiun juga tak lepas dari beban pensiun daerah yang masih ditanggung pemerintah pusat. Di samping itu, skema pembiayaan pensiun pemerintah saat ini adalah pay as you go.
Ini artinya, dana untuk pembayaran pensiun tidak disediakan sampai benar-benar jatuh tempo.
Kemudian, pada umumnya tidak terjadi akumulasi dana untuk pembayaran pensiun. Kalaupun ada akumulasi dana, hal tersebut berada di Taspen yang penggunaan utamanya bukan untuk pembayaran pensiun.
Selama ini, potongan iuran PNS yang ada di Taspen hanya bersifat akumulasi sampai ada lembaga dana pensiun yang dibentuk pemerintah.
Pertama kali dibentuk 1974, Taspen mengelola iuran PNS untuk tiga penggunaan, yakni mengembalikan iuran PNS yang berhenti tanpa hak pensiun.
Dana talangan jika pemerintah tak bisa membayarkan pensiun PNS, dan membayar manfaat pensiun PNS.
Namun, yang selama ini kerap dilakukan Taspen hanya mengembalikan iuran PNS yang tak berhak mendapatkan pensiun.
Sebab dalam undang-undang pensiun, PNS yang berhak mendapatkan pensiun adalah yang telah bekerja lebih dari 20 tahun dan berusia di atas 50.
“Kalau dia berhenti sebelum 20 tahun, maka haknya untuk pensiun belum dapat. Dan dia bisa mendapatkan pengembalian iurannya,” kata Isa.
Lantaran itu, terdapat risiko dalam pembayaran pensiun dan hal ini telah lama diwanti-wanti oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk itu, ke depannya pemerintah ingin melakukan reformasi pensiun PNS dengan mengubah skema pendanaan menjadi fully funded.
Dengan skema yang disebut belakangan itu, pemerintah secara sistematis melakukan penyisihan dana untuk pembayaran pensiunan PNS.
Dengan demikian, terdapat akumulasi dana yang dijaga nilainya sedemikian rupa agar cukup membiayai pembayaran pensiun hingga tuntas.
Skema ini juga membuat risiko gagal bayar pensiun berkurang karena ada akumulasi dana. Lalu risiko terjadinya ketidakcocokan antara akumulasi dana dengan perkiraan manfaat yang menjadi kewajiban juga bisa diantisipasi.
Dengan berlakunya skema fully funded ini, maka skema pembayaran manfaat pensiun juga berubah dari yang saat ini manfaat pasti menjadi iuran pasti.
Jika mengacu model pembiayaan swasta, skema iuran pasti membuat pemberi kerja tidak menjanjikan besaran manfaat tertentu seperti sekarang.
Namun, mereka menjanjikan besaran iuran yang akan dikelola untuk pembayaran pensiun. Dus, manfaat yang akan diterima tidak bisa dipastikan atau dipengaruhi akumulasi iuran dan hasil pengembangan.
Ini berbeda dari skema manfaat pasti yang berlaku saat ini. Dalam skema manfaat pasti, pemerintah menjanjikan jumlah pensiun dengan formula yang ditetapkan sejak awal. Dalam hal ini, manfaat dapat diperkirakan.
Misalnya, 10 x masa kerja x gaji pekerja pensiun setelah bekerja 30 tahun. Jika PNS memiliki gaji terakhir Rp.10 juta, maka dia akan menerima pensiun Rp.300 juta.
Ini lantaran pensiun dihitung dengan cara 10 x 30 (tahun) x Rp.10 juta. Jumlah itu bisa dibayarkan secara sekaligus atau dibayarkan tiap bulan.
Sementara, jika menggunakan skema iuran pasti, manfaat iuran yang diberikan menggunakan skema: Ʃ iuran + hasil pengembangan.
Misalnya, pekerja dengan masa kerja 30 tahun dengan gaji flat Rp.10 juta dan memiliki iuran sebesar 8 persen, maka manfaat pensiunnya adalah 8 persen x 10 juta x 30 tahun) x rate of return.
Sumber: Fortune Indonesia.