Radar Berita Indonesia | Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri membongkar jaringan perdagangan ilegal bahan kimia mematikan jenis sodium cyanide (sianida) yang dijalankan oleh PT SHC di Surabaya dan Pasuruan, Jawa Timur.
Temuan ini menjadi sorotan karena mengungkap peredaran 6.000 drum sianida jumlah terbesar yang pernah diungkap dalam sejarah penegakan hukum oleh Bareskrim.
Brigjen Nunung Syaifuddin, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, menegaskan bahwa hanya dua entitas yang sah di mata pemerintah untuk mengimpor bahan kimia berbahaya seperti sodium cyanide: PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan PT Sarinah.
Selain itu, izin impor hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang benar-benar menggunakan bahan tersebut untuk kepentingan sendiri, dan wajib memiliki persetujuan dari Kementerian Perdagangan.
Namun, dalam kasus PT SHC, skema penyelundupan dilakukan dengan menyalahgunakan izin milik perusahaan tambang emas yang sudah tidak lagi beroperasi.

Alih-alih digunakan untuk keperluan internal, sianida tersebut justru dijual secara ilegal kepada berbagai pihak.
Penyidik menduga jaringan distribusi mencakup wilayah Indonesia Timur, termasuk Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, hingga Kalimantan Tengah.
“Modus ini jelas melanggar hukum dan berpotensi menimbulkan risiko besar bagi keselamatan publik dan lingkungan. Kami akan mengembangkan penyidikan ke seluruh jaringan penerima dan pemasok yang terlibat,” ujar Brigjen Nunung dalam konferensi pers, pada Rabu (14/5/2025).
Tersangka SE kini menghadapi jeratan hukum berlapis atas tindakannya dalam mengimpor dan mendistribusikan sodium cyanide secara ilegal.
Ia dikenakan Pasal 24 ayat (1) jo. Pasal 106 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengatur tentang pelanggaran terhadap perizinan impor barang tertentu.
Pasal ini membawa ancaman pidana hingga 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp10 miliar.
Tak hanya itu, SE juga dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a, e, dan f jo. Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal ini menyasar praktik perdagangan barang yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, mengandung informasi menyesatkan, serta tidak mencantumkan label yang benar dan jelas.
Ancaman hukuman atas pelanggaran ini mencapai 5 tahun penjara atau denda hingga Rp.2 miliar.
Pengungkapan ini menjadi catatan serius dalam upaya Polri menutup celah peredaran bahan kimia berbahaya yang kerap dimanfaatkan tanpa pengawasan memadai.
Selain membahayakan keselamatan publik dan lingkungan, kasus ini juga menunjukkan lemahnya sistem pengawasan impor dan distribusi komoditas berisiko tinggi di Indonesia.