Tokyo, Radar BI | Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mendorong agar hubungan bilateral Indonesia-Jepang hendaknya tak hanya difokuskan pada kerja sama antara perusahaan-perusahaan besar saja, tetapi juga melibatkan pelaku ekonomi kelas menengah, kecil dan mikro (UMKM). Karena teori “trickle-down effect” yang diandalkan selama ini ternyata gagal menghadirkan kesejahteraan masyarakat.
Hal itu dikatakan Ketua DPD RI LaNyalla saat bertemu jajaran Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo dalam rangkaian kunjungan kerja delegasi Senator untuk menyerap aspirasi komunitas diaspora serta mengadakan studi referensi sebagai bahan masukan dalam menjalankan tugas-tugas konstitusional DPD RI.
Berbicara tentang kerja sama ekonomi bilateral, LaNyalla menilai sering terperangkap dalam alam pikiran masa lalu tentang trickle-down effect, bahwa yang dilibatkan harus konglomerasi dan perusahaan-perusahaan besar. “Tujuannya agar setelah mereka kuat, mereka akan membantu masyarakat golongan bawah. Itu mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan,” tegas LaNyalla dalam pertemuan yang dihadiri Deputy Chief of Mission John Tjahjanto Boestami dan staf KBRI pada Kamis (25/5/2023).
Fakta yang terjadi, semakin kuat dan kaya, mereka semakin melupakan masyarakat di bagian bawah piramida ekonomi, sehingga disparitas ekonomi dan sosial semakin melebar. Hal ini diperparah dengan semakin kuatnya cengkraman oligarki ekonomi yang dipelihara oleh oligarki politik.
“Oleh karena itu, yang perlu diberdayakan dan mendapat keberpihakan negara adalah pelaku ekonomi golongan bawah yaitu UMKM, yang jumlahnya lebih dari 60 juta unit usaha, tersebar di lebih dari 500 kabupaten/kota di Indonesia,” imbuhnya.
LaNyalla juga menekankan bahwa DPD RI mengadvokasi Demokrasi Ekonomi yang inklusif agar terjadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, LaNyalla mengingatkan kepada KBRI Jepang dan juga KBRI di semua negara sahabat perlu menjadikan hal ini sebagai salah satu prioritas diplomasi, agar investasi asing yang masuk ke Indonesia juga melibatkan proyek-proyek yang langsung berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat golongan bawah, termasuk pelaku-pelaku UMKM di daerah-daerah.
“Dalam rangka melayani rantai pasok produk-produk Indonesia ke Jepang dan sekitarnya, UMKM Indonesia perlu dilibatkan dalam pusat distribusi produk Indonesia di Jepang. KBRI juga bisa mendorong investasi Jepang untuk meningkatkan kualitas produk UMKM Indonesia,” jelas LaNyalla.
Ketua DPD RI juga menerangkan bahwa kombinasi dari permintaan global yang mulai meningkat, disrupsi rantai pasok, melonjaknya harga pangan dan energi, serta kondisi geopolitik global, mendorong kenaikan inflasi global dan pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara. Namun demikian, di tengah ketidakpastian global tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia justru mencatatkan kinerja yang impresif.
Dijelaskannya, dalam rangka memperkuat dan membangun perekonomian, setiap negara perlu melakukan kolaborasi dengan negara lainnya, karena suatu negara tidak mungkin dapat berdiri hanya dengan mengandalkan sumber daya yang dimilikinya.
“Oleh karena itu, maka kerja sama bilateral dan multilateral harus menjadi solusi yang saling menguntungkan. Jepang adalah negara maju, sehingga Indonesia terdorong untuk melakukan berbagai kerja sama dengannya untuk memenuhi kepentingan dalam negeri,” kata LaNyalla.
Menurut LaNyalla, kesepakatan yang pertama kali dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Jepang adalah kerja sama di bidang ekonomi yang dalam kerangka Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang disepakati pada 20 Agustus 2007.
Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, pada tanggal 20 Mei 2023 lalu, Presiden Joko Widodo telah melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Hiroshima, di mana Presiden menyampaikan beberapa hal terkait peningkatan kerja sama IJEPA yang diharapkan dapat dimulai pada bulan September 2023.
“Termasuk di dalamnya penghapusan tarif produk tuna kaleng, peningkatan capacity building dan perluasan bidang kerja bagi pekerja migran Indonesia, terutama di bidang pariwisata. Presiden Joko Widodo juga telah memberikan keleluasaan dan fleksibilitas perluasan akses buah tropis Indonesia seperti mangga dan apel,” ujar LaNyalla dalam pidatonya.
Terkait investasi, LaNyalla melanjutkan, Presiden juga mengatakan bahwa diperlukan percepatan terkait penyelesaian proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di Indonesia. Presiden juga telah mengusulkan agar dilakukan penunjukan langsung kontraktor Jepang.
Terkait pembangunan Ibu Kota Nusantara, LaNyalla menyebut bahwa ia menyambut baik penandatanganan lima nota kesepahaman dengan JICA, JBIC, JCODE, JIBH dan UR. Dan terkait transisi energi, menurut LaNyalla Presiden mendorong percepatan realisasi komitmen Jepang sebesar USD500 juta untuk teknologi rendah karbon dan percepatan penghentian PLTU, serta implementasi kesepakatan bisnis oleh PLN, Pupuk Indonesia dan Pertamina dengan mitra Jepang sebagai upaya mencapai net zero emission.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam lawatannya ke Jepang di akhir tahun 2022, Wapres KH Maruf Amin telah pula menyampaikan harapannya terkait realisasi perluasan investasi senilai USD5,2 miliar serta tindak lanjut proyek strategis pariwisata kedua negara, kerjasama keuangan syariah, dan pengembangan industri halal.