BAB 1 – PENDAHULUAN
Dalam perjalanan waktu panjang sejarah bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita – citakan. Seringkali tidak berdaya untuk membantah dan menahan arus kepentingan sebagian kelompok orang yang pada gilirannya mengorbankan hak – hak rakyat banyak yang pada hakikatnya mengorbankan misi suci hukum itu sendiri.
Hukum dalam banyak hal, seringkali bermetamorfosis menjadi “legally institution” the arbitrariness dan “punishment institution” seeker of justice. Implikasi dari “fallacy” hukum tersebut adalah porak porandanya sistem hukum nasional.
Seringkali tidak berdaya untuk membantah dan menahan arus kepentingan sebagian kelompok orang yang pada gilirannya mengorbankan hak – hak rakyat banyak yang pada hakikatnya mengorbankan misi suci hukum itu sendiri.
Hukum dalam banyak hal, seringkali bermetamorfosis menjadi “legally institution” the arbitrariness dan “punishment institution” seeker of justice. Implikasi dari “fallacy” hukum tersebut adalah porak porandanya sistem hukum nasional.
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang dijabarkan dalam kaidah – kaidah, pandangan – pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga harmonisasi (keselarasan, keseimbangan dan keserasian) antara moralitas sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil warga negara yang didasarkan pada nilai – nilai aktual di dalam masyarakat.
Dengan demikian kebersamaan sangat dibutuhkan tidak hanya untuk membuat rambu – rambu pergaulan nasional, melainkan juga penegakannya.
Dalam kerangka demikian keberadaannya terlihat sebagai tuntutan yang telah melahirkan code of conduct. Standar-standar dalam code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktek profesional atau tidak.
Dapat dikatakan telah terjadi malpraktek apabila seorang profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah melakukan tindakan yang tidak profesional di bawah standar atau sub-standard profesinya, menimbulkan kerugian (damage) terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya.
Secara konseptual merupakan malpraktik apabila menegakkan hukum denganspirit yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Mesti dibedakan antara spirit undang – undang (legal spirit) seperti tersurat dan tersirat dalam konsiderans dan penjelasan
umum peraturan perundang-undangan dengan spirit penegakan hukum (spirit of enforcement) yang menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, peradilan harus selalu diselenggarakan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Article 1, menentukan “law enforcement officials shall at all times fulfil the duty imposed upon them by law, by serving the community and by protecting all persons against illegal acts, consistent with the high degree of responsibility required by their profession”.
Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari perbuatan – perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan tingkat pertanggung-jawaban yang tinggi yang dipersyaratkan oleh profesi mereka.
Pokok dan fokus pembahasan dalam studi ini mencoba menggali konsep pemikiran teoritis-akademis, mengaplikasikan konsep good governance dipahami dan diaplikasikan sebagai kerangka penegakan hukum.
Dengandemikian secara teoritis dalam studi ini akan dikenal konsep “good law enforcement governance”, dalam pengertian kerangka konsep “penegakan hukum yang baik” derivasi langsung dari konsep good governance.
Rumusan Masalah
1. Hukum dalam masyarakat.
2. Konsep penegak hukum yang baik
3. Gaya moral dalam penegak hukum.
4. Harmonisasi Hukum dan Penegakannya
BAB II – PEMBAHASAN
Untuk sampai pada pembahasan tentang penegakan hukum yang baik, kiranyaperlu uraian singkat mengenai tingkat pemahaman masyarakat terhadap hukum.
1. Hukum Dalam Masyarakat
Banyak pakar berpendapat bahwa hukum merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia terutama kehidupan bernegara.
Dalam pembicaraan sehari-hari,media cetak, media elektronik, maupun dalam berbagai kesempatan, seringkali dilontarkan berbagai macam bentuk ungkapan yang mengatasnamakan hukum, baik bagi mereka yang berlindung atas nama hukum, maupun pihak-pihak yang menghujat hukum.
Konsep hukum sangat luas, meskipun dalam berbagai rumusan dan tulisan telah merujuk dan mengutip pendapat para sarjana maupun filsuf yang mencoba untuk memberikan suatu definisi atau bentuk-bentuk pemahaman mengenai hukum.
Dalam praktik tidak jarang dijumpai kesalahpahaman dan salah penafsiran, bahkan telah memberikan penafsiran baru terhadap hukum itu sendiri Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu mengakomodasi dan membagi keadilan pada orang – orang yang akan diaturnya.
Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat ternyata bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat manusia.
Enam ratus tahun sebelum Masehi, Anarchasis menulis bahwa hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap “…the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich…”.
Lima ratus tahun sebelum Masehi Trasymachus ketika berdebat dengan Socrates mengenai keadilan, “… hukum, tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat”.
Pandangan miring tentang hukum dikemukakan pula oleh Machiavelli, “…Hukum menjadi wahana bagi kepentingan yang memiliki kekuasaan, sementara bagi kaum tanpa kekuasaan, hukum menjadi tidak berdaya untuk membelanya”.
Demikian halnya, lebih darinempat ratus tahun sebelum Masehi Plato mengemukakan bahwa “laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful”, Hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat.
Di sisi lain, kaum Sofist berpendapat bahwa “justice is the interest of the stronger”, bahwa hukum merupakan hak dari penguasa. Dalam „The Second Treatise of Civil Government‟, John Locke telah memperingatkan bahwa “whereever law ends, tyranny begins”.
Dalam hubungan ini, maka terlihat bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, tidak semata – mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka.
Hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang mencerminkan perlindungan hak asasi manusia, seperti tercantum dalam konstitusi UUD 1945. Hukum bukan hanya merupakan pedoman berperilaku bagi rakyat, tetapi juga bagi para pejabat pemerintahan dan seluruh penyelenggara kenegaraan.
Dalam Black‟s Law Dictionary, Bryan A. Garner memberikan definisi hukumsebagai: “The regime that orders human activies andnrelations through systematic applicationnof the force of politically organized society, or trough a pressure, backed by force, in such a society; the legal system (respect and obey the law).
The aggregate of legislation, judiciam. precedents, and accepted legal principles; the body of judicial and administrative action (the law of land). The judicial and administrative process, legal action and proceedings (when settlement negotiations failed, they submitted their dispute to the law)…”.
Melalui uraian singkat di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa manusia pada dasarnya secara berkesinambungan berupaya untuk memberikan pemahaman tentang hukum, setidaknya telah memahami tentang konsep hukum.
Banyak pakar yang berusaha untuk memberikan arti hukum, tetapi tidak jarang arti hukum tersebut dikatakan masih bersifat mendekati sempurna. L.J. van Apeldoorn mengkalimatkan, tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum yang sungguhsungguh dapat memadai kenyataan.
Seperti kata Immanuel Kant, bahwa para jurist masih mencari suatu definisi bagi pengertian mereka tentang hukum (noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht).
Demikian pula Dennis Lloyd, dalam L.B. Curzon (1979), “… although „much juristic ink‟ has been used in an attemp to provide „a universally acceptable definition of law‟ there is little sign of the objective having been attained”.
Walaupun sejak beribu tahun orang sibuk mencari sesuatu definisi tentang hukum, namun belum pernah terdapat sesuatu yang memuaskan. Kesulitannya terletak pada kata – kata yang dipergunakan dalam
mengartikulasikan hukum yang pada akhirnya justru membatasi ruang gerak pemikiran tentang hukum itu sendiri.
Hukum menjadi landasan dalam berperilaku, bukan hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi para pejabat pemerintahan di badan-badan legislatif, eksekutif atau administratif dan badan – badan yudisial.
Walau demikian, hukum dimaksud adalah hukum yang memang benar – benar diciptakan melalui proses yang benar dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, dengan mengacu pada kepentingan masyarakat dan keadilan sosial.
Seperti dikalimatkan oleh Kusumohamidjojo (1999), tanpa adanya hukum yang berkeadilan, baik yang dibuat oleh badan – badan legislatif, eksekutif maupun yudisial, sulit diharapkan bahwa hukum akan diterima dan dijadikan panutan.
Dalam hubungan ini, baik dari komponen-komponen hukum, maupun dari faktor-faktor yang memandu orientasi masyarakat. Apalagi dari penghormatan terhadap prinsip keadilan bagi penerapan hukum itu nyata bahwa lembaga – lembaga kenegaraan yang menetapkan norma hukum, melaksanakan-nya maupun yang menindak pelanggaran terhadapnya dan lebih lagi para pejabat yang menyandang jabatan lembaga – lembaga tersebut, memainkan peranan yang besar.
Dari uraian singkat tentang hukum dalam kehidupan masyarakat di atas, pada akhirnya kita akan berbicara mengenai manusia dalam mencoba untuk mengaplikasikan hukum, dan refleksi dari para pejabat hukum yang terjadi di badan – badan legislatif, eksekutif atau administratif dan badan-badan yudisial, serta akibat yang ditimbulkannya.
2. Konsep Penegakan Hukum yang baik.
Dalam banyak kepustakaan dan berbagai wacana ilmu hukum dan pemerintahan, istilah good governance banyak diangkat ke dalam pembahasan. Seolah hendak mendesak istilah clean government yang sebelumnya lebih banyak dikenal dan mewarnai pembahasan dalam kepustakaan.
Institute On Governance dalam Principlesfor Good Governance in the 21st Century membedakan istilah government dan governance, bahwa governance is not synonymous with government. This confusion of terms can have unfortunate consequences. A public policy issue where the heart of the matter is a problem of governance becomes defined implicitly as a problem of “government”, with the corollary that the onus for “fixing” it necessarily rests with government.
Di samping itu, Institute On Governance memberikan definisi: “Governance comprises the institutions, processes and conventions in a society which determine how power is exercised, how important decisions affecting society are made and how various interests are accorded a place in such decisions”.
Kemudian Commission on Global Governance (CGG: 1995), memberikan konsep: Governance is the sum of the many ways individuals and institutions, public and private, manage their common affairs.
It is a continuing process through which conflicting or diverse interests may be accommodated and co-operative action may be taken. It includes formal institutions and regimes empowered to enforce compliance, as well as informal arrangements that people and institutions either have agreed to or perceive to be in their interest.
Dalam „Clean Government and Public Financial Accountability‟, Vinod Sahgal and Deepa Chakrapani (2000), mengajukan suatu konsep, bahwa: The first pillar of the Comprehensive Development Framework (CDF) calls for good and clean government. The CDF assumes that clean government promotes good governance.
But good governance requires at minimum four elements: effective public financial accountability relationships between a country‟s governing bodies and its executive management, transparent decisionmaking, stakeholders participation, and ethical practices.
Dalam„Sustainability and good governance: Monitoring participation and process aswell as outcomes‟ (2002), Julia Porter memberikan definisi: “Governance encompasses not just government, but also the private sector and civil society (individuals and groups) and the systems, procedures and processes in place for planning, management and decisionmaking”.
Disisi lain, dalam Black‟s Law Dictionary, government diberikan definisi antara lain sebagai“…an organization through which a body of people exercise political authority; the machinery by which sovereign power is expressed…”.
Dari pengertian di atas, terlihat tidak ada perbedaan arti antara apa yang disebut government yang hakikatnya harus bersih dan apa yang disebut governance yang hakikatnya harus „baik‟.
Keduanya sama-sama merujuk pada arti pemerintah atau pemerintahan. Pemerintah atau pemerintahan, pada dasarnya merupakan suatu struktur lembaga formal menyelenggarakan tugas keseharian negara.
Dengan mendasarkan pada pengertian di atas, istilah governance pada dasarnya menunjuk pada tindakan, fakta, atau perilaku governing, yakni mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam suatu negara.
Makna good governance sebagai tindakan atau tingkah-laku yang didasarkan pada nilai – nilai, dan yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai – nilai itu di dalam tindakan dan kehidupan keseharian.
Konsep good governance banyak dikembangkan dalam berbagai tulisan oleh para pakar dengan masing – masing argumentasi dan justifikasi, sehingga dikatakan sebagai a rather confusing variety of catchword; yang oleh Harkristuti dikatakan sebagai suatu konsep yang, has come to mean too many different things.
Demikian halnya menurut Europa Union Commission (1997), bahwa the term governance is a very versatile one, dengan memberikan definisi governance, sebagai: “It is used in connection with several contemporary social sciences, especially economics and political science.
It originates from the need of economics (as regards corporate gover-nance) and political science (as regards State governance) for an all-embracing concept capable of conveying diverse meanings not covered by the traditional term “government”.
Referring to the exercise of power overall, the term “governance”, in both corporate and State contexts, embraces action by executive bodies, assemblies (e.g. national parliaments) and judicial bodies (e.g. national courts and tribunals)”.
Dalam hal konsep good governance dipahami dan diterapkan sebagai kerangka penegakan hukum yang menjadi pokok dan fokus pembahasan dalam studi ini, maka secara teoritis akan dikenal konsep good law enforcement governance.
Dalam pengertian kerangka konsep “penegakan hukum yang baik” derivasi langsung dari good gover-nance. Dengan demikian, “penegakan hukum yang baik” lebih mengacu pada the manner, kinerja atau gaya moral-legal pelaksanaannya.
3. Gaya moral dalam penegak hukum.
Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance), adalah pemahaman atas prinsip – prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip – prinsip penegakan hukum yang baik, akan dapat diperoleh tolok-ukur kinerja suatu penegakan hukum.
Baik dan tidak baiknya penyelenggaraan penegakan hukum, dapat dinilai apabila pelaksanaannya telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip – prinsip penegakan hukum yang baik, mengacu pada prinsip – prinsip demokrasi dengan elemen – elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat.
Oleh karena itu, suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut bergaya moral baik, apabila pelaksanaannya memenuhi elemen – elemen prinsip demokrasi tersebut.
Di antara prinsip – prinsip demokrasi dengan elemen – elemennya tersebut, empat prinsip di antaranya merupakan prasyarat utama yang saling terkait satu sama lain.
Dengan kata lain, suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut bergaya moral baik, sekurang – kurangnya memenuhi empat syarat yang meliputi legitimasi, akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.
Pertama, penegakan hukum itu berlegitimasi atau taat asas, sehingga kekurangan dan kelebihannya akan dapat terprediksikan sebelumnya (predictable).
Kedua, pelaksana penegakan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat (accountable).
Ketiga, prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang dapat mengindikasikan adanya kolusi (transparency).
Keempat, prosesnya terbuka untuk mengakomodasi opini kritis masyarakat (participated). Keempat prasyarat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, yang satu lepas dari yang lain.
Predictability akan menentukan apakah suatu penegakan hukum, secara kolektif oleh suatu institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya masing-masing, atau secara individual oleh seseorang pejabat, telah dilaksanakan secara rasional, dan secara objektif sebagai bagian dari suatu sistem normatif yang telah dibangun. Dengan demikian benar – benar dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Partisipasi masyarakat hanya dapat dipenuhi apabila sesuatu hal sampai batas tertentu telah dilaksanakan secara transparan. Sementara itu, mustahil norma ac-countability dapat direalisasi apabila kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi tidak dibuka.
Begitu halnya, norma transparansi tidak ada gunanya, bila hal itu tidak dimaksudkan untuk memungkinkan partisipasi dan permintaan akuntabilitas masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat terlaksana tanpa adanya transparansi.
Akuntabilitas sulit terlaksana tanpa pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan dalam proses penegakan hukum, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan masyarakat selalu diprioritaskan.
Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Dengan demikian membangun “penegakan hukum yang baik” sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku para pejabat penegak hukum. Kejujuran adalah hal yang paling penting untuk dikembangkan dalam pembinaan sumber daya insani, karena kejujuran tidak ada modulnya.
Kejujuran sangat dipengaruhi oleh keimanan dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi, pemerintah dengan sendirinya dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya insaninya sesuai dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya, agar mampu berpikir dengan baik dan benar.
4. Harmonisasi Hukum dan Penegakannya Penegakan
Hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum.
Kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang – undangan. Penegakan hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya masing – masing.
Dalam kaitan ini kita melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan. Perspektif ini perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem.
Perspektif ini meniscayakan dilakukannya harmonisasi hukum dan harmonisasi penegakan hukum secara komprehensif, terintegrasi, konsisten dan taat asas. Secara teoritis peraturan perundang – undangan merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya pertentangan antara unsur – unsur atau bagian bagian di dalamnya. Peraturan perundang-undangan saling berkaitan dan merupakan bagian dari suatu sistem, yaitu sistem hukum nasional.
Ditinjau dari sistem hukum nasional, peraturan perundang – undangan yang harmonis dan terintegrasi menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, menjamin kepastian dan perlindungan hukum Secara praktis keterbatasan kapasitas para penegak hukum dalam memahami dan menginterpretasikan peraturan yang ada, berakibat pada terjadinya penerapan hukum yang tidak efektif.
Demikian pula lemahnya koordinasi antar sektor, antar daerah, antara sektor dan daerah, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berangkat dari pemikiran tersebut langkah yang harus ditempuh adalah melakukan harmonisasi sistem hukum, guna mencegah timbulnya disharmoniperaturan perundang – undangan yang pada gilirannya dapat melahirkan disharmonidalam penerapannya.
Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler, “A just law aims at harmonizing individual purposes with that of society”.
Prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup harmonisasi antara maksud dan tujuan serta kepentingan perorangan, dan maksud dan tujuan serta kepentingan umum. Maksud dan tujuan serta kepentingan terdiri atas dua unsur, yaitu saling menghormati dan partisipasi. Harmonisasi hukum sebagai upaya atau proses penyesuaian asas dan sistem hukum, agar terwujud kesederhanaan hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Harmonisasi hukum sebagai suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang – undangan, mengatasi hal – hal yang bertentangan dan kejanggalan di antara norma – norma hukum di dalam peraturan perundang – undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang – undangan nasional yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten, serta taat asas.
Langkah sistemik harmonisasi hukum nasional, bertumpu pada paradigma Pancasila dan UUD 1945 yang melahirkan sistem ketatanegaraan dengan dua asas fundamental, asas demokrasi dan asas negara hukum yang diidealkan mewujudkan sistem hukum nasional dengan tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum beserta kelembagaannya, dan budaya hukum.
Langkah sistemik tersebut di satu sisi dapat dijabarkan dalam harmonisasi peraturan perundang-undangan dan di sisi lain diimplementasikan dalam rangka penegakan hukum. Harmonisasi hukum memiliki fungsi pencegahan dan fungsi penanggulangan terjadinya disharmoni hukum.
Harmonisasi hukum untuk mencegah terjadinya disharmoni hukum memerlukan teknik – teknik penemuan hukum dalam rangka mempertegas kehendak hukum, kehendak masyarakat dan kehendak moral. Harmonisasi hukum yang bersifat pencegahan dilakukan dalam rangka mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan terjadinya disharmoni hukum.
Dengan demikian harmonisasi hukum merupakan kegiatan penemuan kehendak hukum, kehendak masyarakat dan kehendak moral melalui kegiatan penafsiran hukum dan penalaran hukum, serta pemberian argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran hukum.
Dalam menuju penegakan hukum yang baik, harmonisasi hukum harus dapatmencerminkan keterpaduan dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan sebaliknya di dalam keterpaduan tersebut juga tercermin harmonisasi penegakan hukum.
Aspek hukum dan kelembagaan (legal and institutional aspects) dalam penegakan hukum yang baik, diwujudkan dalam bentuk harmonisasi interaksi penegakan hukum antar kelembagaan.
Oleh karena interaksi penegakan hukum dan kelembagaan terjadi di setiap komponen kegiatan dan juga antar komponen kegiatan, maka keterpaduan tersebut harus diupayakan untuk terwujud di setiap tingkatan penegakan hukum dan kelembagaan.
Apabila keterpaduan hukum dapat diwujudkan, maka keterpaduan dalam aplikasinya juga harus selalu menuju penegakan hukum yang baik. Keterpaduan kelembagaan senantiasa akan menjadijaminan bagi terselenggaranya harmonisasi dalam penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance).
BAB III – Penutup
Good law enforcement governance, diterjemahkan sebagai „seni atau gaya moral penegakan hukum yang baik‟, lebih mengacu pada the manner, memerlukan suatu butir-butir moral-legal dalam pelaksanaannya.
Penegakan hukum yang baik, memerlukan pelaksanaan yang terarah pada proses pencapaian sasaran yang meliputi aktualisasi tata nilai yang melandasi dan menjadi acuan perilaku proses penegakan hukum, yang tertuju pada pencapaian tujuan hukum.
Aspek hukum dan kelembagaan (legal and institutional aspects) dalam penegakan hukum yang baik, diwujudkan dalam bentuk harmonisasi interaksi penegakan hukum antar kelembagaan.
Harmonisasi interaksi penegakan hukum antar kelembagaan terjadi di setiap komponen kegiatan dan juga antar komponen kegiatan, maka keterpaduan tersebut harus diupayakan untuk terwujud di setiap tingkatan penegakan hukum dan kelembagaan.
Apabila harmonisasi hukum dapat diwujudkan, maka keterpaduan dalam aplikasinya juga harus selalu menuju pada penegakan hukum yang baik. Keterpaduan antar kelembagaan senantiasa akan menjadi jaminan bagi terselenggaranya harmonisasi dalam penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance).
BAB III – Penutup
Good law enforcement governance, diterjemahkan sebagai „seni atau gaya moral penegakan hukum yang baik‟, lebih mengacu pada the manner, memerlukan suatu butir-butir moral-legal dalam pelaksanaannya.
Penegakan hukum yang baik, memerlukan pelaksanaan yang terarah pada proses pencapaian sasaran yang meliputi aktualisasi tata nilai yang melandasi dan menjadi acuan perilaku proses penegakan hukum, yang tertuju pada pencapaian tujuan hukum.
Aspek hukum dan kelembagaan (legal and institutional aspects) dalam penegakan hukum yang baik, diwujudkan dalam bentuk harmonisasi interaksi penegakan hukum antar kelembagaan.
Harmonisasi interaksi penegakan hukum antar kelembagaan terjadi di setiap komponen kegiatan dan juga antar komponen kegiatan, maka keterpaduan tersebut harus diupayakan untuk terwujud di setiap tingkatan penegakan hukum dan kelembagaan.
Apabila harmonisasi hukum dapat diwujudkan, maka keterpaduan dalam aplikasinya juga harus selalu menuju pada penegakan hukum yang baik. Keterpaduan antar kelembagaan senantiasa akan menjadi jaminan bagi terselenggaranya harmonisasi dalam penegakan hukum yang baik (good law enforcement governance).
BAB IV – Daftar Pustaka
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.Bogdan, Robert, and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods,Burhanuddin, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta,1997.
Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan diIndonesia, UI-Press, Jakarta, 1983.
FILSAFAT HUKUM
“ETIKA DAN MORAL PENEGAK HUKUM”
Nama : YULINDA SASMITA
Jurusan : ILMU HUKUM
No. BP : 20100036002222
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI – AAI PADANG