Radar Berita Indonesia | Ketua Umum Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI), Rahmad Sukendar, menyoroti keberangkatan Bupati Kabupaten Lingga, Muhammad Nizar, beserta istri dan rombongan ke Tiongkok yang belakangan menuai sorotan publik.
Perjalanan Bupati Kabupaten Lingga tersebut memunculkan dugaan bahwa biaya perjalanan dinas itu ditanggung oleh pihak swasta atau perusahaan tertentu, yang dinilai berpotensi sebagai bentuk gratifikasi. Menyikapi hal itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) diminta untuk memberikan klarifikasi secara terbuka.
“Kami meminta kepada Mendagri untuk memberikan penjelasan lengkap kepada publik. Apakah benar keberangkatan Bupati Lingga beserta rombongan ke Tiongkok telah mengantongi izin resmi dari Kemendagri, atau justru tidak memiliki izin sama sekali?” tegas Sukendar dalam keterangan, pada Minggu (20/4/2025).
Apakah benar keberangkatan Bupati Lingga beserta rombongan ke Tiongkok?. Selian itu, Sukendar juga menegaskan bahwa setiap perjalanan luar negeri oleh pejabat daerah wajib mengikuti prosedur dan ketentuan perundang-undangan. Jika ditemukan adanya pembiayaan dari pihak ketiga, hal itu patut dicurigai sebagai pelanggaran etik maupun hukum.
“Jika benar dibiayai oleh pihak swasta, maka ini bisa dikategorikan sebagai gratifikasi. Kami mendesak aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan, untuk segera menyelidiki dan menindaklanjuti informasi ini,” ujarnya.
Sukendar juga menekankan bahwa kasus semacam ini tidak boleh dibiarkan karena berpotensi mencoreng semangat pemberantasan korupsi dan merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.
BPI KPNPA RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas serta memastikan seluruh aparatur pemerintah menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), tuturnya.
Transparansi Diuji, Perjalanan Bupati Lingga ke Tiongkok Perlu Audit Mendalam
Publik mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam perjalanan luar negeri Bupati Lingga, Muhammad Nizar, yang diduga kuat melibatkan pembiayaan dari pihak ketiga.
Meski belum ada keterangan resmi soal sumber dana, sorotan tajam datang dari berbagai elemen masyarakat dan lembaga pengawas independen.
Sejumlah pihak mendesak agar inspektorat daerah hingga Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) segera turun tangan melakukan audit khusus atas perjalanan tersebut.
Hal ini penting untuk menyingkap apakah benar ada keterlibatan sponsor dari kalangan swasta, yang secara hukum dapat dikategorikan sebagai gratifikasi jika tidak dilaporkan dan mendapat persetujuan sesuai prosedur.
Diketahui, setiap kepala daerah yang hendak melakukan perjalanan dinas ke luar negeri harus memperoleh izin tertulis dari Kementerian Dalam Negeri, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2016 tentang Pedoman Perjalanan Dinas Luar Negeri bagi Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
Namun hingga kini, belum ada bukti terbuka yang menunjukkan bahwa perjalanan tersebut telah mendapat persetujuan resmi. Hal ini justru memicu spekulasi dan ketidakpercayaan dari masyarakat, apalagi jika benar perjalanan itu bersifat “tidak resmi namun difasilitasi”.
Motif dan Tujuan Perjalanan Masih Abu-abu
Pertanyaan lain yang muncul adalah: apa urgensi dan hasil konkret dari perjalanan ke Tiongkok tersebut? Apakah benar perjalanan itu dilakukan untuk membuka peluang investasi atau kerja sama daerah, atau hanya sebatas kunjungan seremoni yang membebani anggaran dan membuka celah gratifikasi?
Publik pantas tahu apakah ada Memorandum of Understanding (MoU), hasil kerja sama nyata, atau hanya sekadar dokumentasi perjalanan yang tak berdampak signifikan pada pembangunan daerah.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, perjalanan pejabat yang dibiayai pihak ketiga sangat rentan menjadi sarana “balas budi” atau lobi terselubung yang bertentangan dengan prinsip integritas dan pelayanan publik.
Panggilan untuk KPK dan Kejaksaan
Desakan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan agar turun tangan tidak bisa diabaikan.
Jika ada indikasi bahwa perjalanan itu merupakan bentuk gratifikasi yang tidak dilaporkan, maka bisa dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
“Penanganan harus dilakukan tanpa pandang bulu. Jika tidak ada langkah hukum yang tegas, ini bisa menjadi preseden buruk bagi kepala daerah lain,” pungkas Rahmad Sukendar.
Editor: Dedi Prima Maha Rajo Dirajo.