Radar Berita Indonesia | Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir di Kota Padang kembali menuai sorotan tajam. Ketua Komisi II DPRD Kota Padang, Rachmad Wijaya, menilai angka retribusi parkir saat ini sangat tidak masuk akal dan berpotensi besar terjadi kebocoran.
Dalam kunjungan kerja ke UPTD Parkir Dinas Perhubungan Kota Padang pada Senin (21/4/2025), Komisi II menemukan data retribusi yang dinilai tak sesuai dengan kondisi lapangan.
Salah satu temuan mencolok adalah retribusi parkir di Jalan Pattimura (depan Bebek Sawah) yang hanya menyumbang Rp630 ribu per bulan atau sekitar Rp21 ribu per hari, padahal merupakan kawasan dengan lalu lintas kendaraan yang tinggi.
Lebih mencengangkan lagi, retribusi parkir di depan Los Ikan, Jalan Samudra, hanya tercatat Rp360 ribu per bulan atau sekitar Rp12 ribu per hari.
“Angka-angka ini jelas tidak masuk akal. Ada yang tidak beres,” tegas Rachmad, politisi Partai Gerindra.

Menurut laporan UPTD Parkir, realisasi retribusi parkir sepanjang 2024 mencapai Rp2,27 miliar. Namun hingga April 2025, baru terkumpul Rp514,6 juta atau 16,6 persen dari target tahunan sebesar Rp2,79 miliar.
Padahal, dengan 64 ruas jalan dan 271 titik parkir, potensi PAD parkir tepi jalan umum (TJU) diperkirakan mencapai Rp2,7 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Komisi II mendesak UPTD Parkir di bawah kepemimpinan Verino Edwin untuk melakukan pembenahan menyeluruh.
Di antaranya, menaikkan tarif retribusi kontrak parkir hingga 100 persen dan mengubah skema pembayaran retribusi dari sekali menjadi dua kali sehari.
“Kami juga mendorong penerapan sistem parkir digital atau cashless guna meminimalkan kebocoran dan meningkatkan transparansi,” ujar Rachmad.
Komisi II berharap langkah-langkah ini bisa mengoptimalkan potensi PAD dari sektor parkir sebagai salah satu tulang punggung pembiayaan pembangunan di Kota Padang.
Parkir Kota Padang: Sumber PAD yang Bocor di Tengah Jalan
Di tengah kebutuhan akan peningkatan infrastruktur dan pelayanan publik, Kota Padang justru menghadapi persoalan klasik yang tak kunjung tuntas: kebocoran pendapatan dari sektor parkir.
Data terbaru menunjukkan kontradiksi mencolok antara potensi dan realisasi retribusi parkir. Di satu sisi, Dishub mencatat adanya 271 titik parkir aktif di 64 ruas jalan strategis.
Di sisi lain, angka setoran retribusi dari lokasi ramai seperti Jalan Pattimura dan Jalan Samudra justru sangat rendah sekadar belasan ribu rupiah per hari. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, ini sudah masuk ranah dugaan kebocoran sistemik.
Ada beberapa pertanyaan besar yang harus dijawab:
Apakah data titik parkir dan besaran setoran selama ini diverifikasi secara berkala di lapangan?
Siapa yang mengawasi pelaksanaan kontrak antara Dishub dan pengelola titik parkir?
Mengapa belum ada sistem digital yang transparan padahal potensi PAD-nya mencapai miliaran rupiah?
Skema retribusi manual selama ini membuka celah besar untuk permainan oknum di lapangan. Penarikan uang parkir oleh juru parkir tanpa sistem pencatatan yang jelas membuat pendapatan sulit diaudit.
Maka tak heran bila angka Rp2,7 miliar sebagai estimasi potensi PAD hanya tinggal mimpi, sementara realisasi stagnan di bawah 20 persen.
Usulan Komisi II DPRD agar Dishub menaikkan tarif dan mengubah skema setoran harian adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, tanpa sistem digital dan transparan, reformasi itu hanya akan mengulang lingkaran lama.
Solusinya bukan sekadar menaikkan tarif, tapi membongkar total sistem perparkiran yang selama ini jadi “ladang basah” bagi segelintir pihak.
Kota-kota besar seperti Surabaya dan Semarang telah membuktikan efektivitas sistem parkir digital yang menghilangkan praktik pungutan liar dan meningkatkan PAD secara signifikan.
Padang tak butuh solusi tambal sulam. Butuh kemauan politik yang kuat untuk membenahi sektor ini dari hulunya dari regulasi, pengawasan, hingga penerapan teknologi.
Jika tidak, kebocoran ini akan terus menggerogoti potensi yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan warga kota.