Padang, Radar Berita Indonesia – Kebebasan pers di Sumatera Barat kembali Dibungkam dan dipertanyakan. Dalam sebuah diskusi hangat, Pemimpin Redaksi Rakyat Sumbar, Revdi Iwan Syahputra, dan Ketua IJTI Sumbar yang juga pimpinan Padang TV, Defri Mulyadi, mengungkap kenyataan getir: media bukan lagi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan justru dikendalikan oleh kekuasaan itu sendiri.
“Pers bungkam bukan tak bisa bicara, tapi lebih sering memilih diam karena tekanan, karena pesanan,” ujar Revdi, yang akrab disapa Ope.
Dalam obrolan suara pers dibungkam penuh refleksi bertajuk “Kondisi Kebebasan Pers dan Independensi Media di Tengah Arus Kepentingan dan Tekanan Ekonomi”, keduanya menggambarkan situasi aktual media di daerah. Suasana sore itu terasa tenang, namun isi perbincangannya bergejolak.
Revdi menyoroti hilangnya idealisme di ruang redaksi yang kini lebih mirip “dapur produksi” berita berbayar. “Dulu kita menulis demi kebenaran. Hari ini, banyak yang menulis demi kepentingan. Fungsi kontrol sosial lumpuh karena independensi redaksional nyaris hilang,” katanya tegas.
Lebih dari itu, ketakutan kehilangan pekerjaan membuat banyak wartawan mengorbankan integritas. “Ini penyakit dalam, bukan sekadar tekanan dari luar,” lanjutnya.
Defri Mulyadi, atau yang akrab disapa Imung, menambahkan bahwa sensor terhadap jurnalis kini lebih sering datang dari internal media itu sendiri.
“Kami dicegah mengungkap kebenaran karena khawatir akan mengganggu kerja sama dengan pemerintah daerah. Ini pembungkaman yang dibungkus profesionalisme,” ungkapnya.
Menurut keduanya, ketergantungan ekonomi menjadi akar masalah. Belanja iklan pemerintah yang mendominasi pendapatan media lokal maupun nasional, telah mengubah relasi antara pers dan negara menjadi relasi transaksional. Dana yang seharusnya menopang keberlangsungan informasi publik justru mengekang suara kritis.
“Kalau semua media hidup dari advertorial pemerintah, bagaimana bisa mereka mengkritik pemerintah? Kita seperti dijerat dengan kontrak diam,” kata Defri.
Namun keduanya sepakat, solusi tak bisa hanya dibebankan pada jurnalis atau pemilik media. Negara harus hadir bukan sebagai pengendali, tapi sebagai mitra demokrasi.
“Pemerintah harus memperbesar dukungan finansial untuk media, tapi tanpa intervensi. Jangan jadikan kami sekadar corong,” tegas Revdi.
Diskusi juga menyentuh posisi ambigu negara yang kerap melihat media hanya sebagai alat kampanye atau musuh saat mengkritik.
“Padahal, bisa dibangun ruang dialog yang sehat. Bukan tunduk, tapi kemitraan yang setara,” kata Defri.
Ia juga menyoroti lemahnya peran organisasi profesi pers. “Banyak media sudah tak peduli etika karena orientasi bukan lagi pada publik, melainkan penyandang dana. Maka perubahan juga harus datang dari internal kita sendiri.”
Menjaga Api, Menjaga Demokrasi
Sebagai penutup, Revdi menyamakan pers dengan api: “Ia bisa menghangatkan demokrasi, tapi bisa padam jika tak diberi oksigen.”
“Oksigen itu,” tambah Defri, “bukan sekadar dana, tapi ruang kebebasan dan perlindungan terhadap idealisme.”
Diskusi ini menjadi pengingat: ketika pers berhenti menjadi anjing penjaga (watchdog), maka demokrasi hanya tinggal panggung sandiwara. Yang kita butuhkan hari ini bukan lebih banyak berita, tapi lebih banyak kebenaran. Dan itu hanya bisa lahir dari pers yang benar-benar merdeka.
Sumber: Revdi Iwan Syahputra.
Editor: Dedi Prima Maha Rajo Dirajo.