Radar Berita Indonesia | Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan komitmen kebangsaan sejak awal berdirinya Muhammadiyah pada 18 November 1912, bahkan hingga saat ini komitmen kebangsaan masih melekat dalam jati diri organisasi tersebut.
Sebagai bentuk kontribusi nyata, Muhammadiyah telah banyak melakukan pembaharuan pada beberapa sektor diantaranya: bidang sosial, politik, agama, kesehatan, dan pendidikan.
Pada masa itu, pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah memberikan dampak positif terhadap perjuangan nasional dalam merebut kemerdekaan, khususnya melalui pendidikan.
Pemberantasan Buta Huruf
Pada akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 banyak dari kalangan masyarakat yang buta huruf, mereka tidak dapat membaca dan menulis, hanya sebagian masyarakat dari golongan tertentu yang dapat melakukannya.
Hal tersebut bukanlah suatu kebetulan semata melainkan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire “orang yang mengalami buta huruf disebabkan oleh dua hal, yaitu situasi dan kondisi yang memaksa dan hak melek hurufnya dirampas” Hal demikian sangat relevan karena kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu oleh kolonialisme dan kurangnya kesadaran akan pentingnya melek huruf.
Selain itu, persoalan lain yang memberikan “sumbangsih” terhadap buta huruf ialah arus pendidikan mainstream, yaitu pesantren dan sekolah-sekolah Gubernemen (Pemerintah Belanda).
Pada masa itu, pesantren melalui Kiai banyak yang menolak segala sesuatu yang berasal dari Barat, termasuk huruf Latin. Karena dianggap sebagai produk non-Islam yang bisa membawa dampak buruk bagi ajaran Islam.
Sementara sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, sangat terbatas dan hanya diperuntukan bagi kelompok masyarakat kelas menengah ke atas (elite).
Melihat hal di atas, K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dengan penuh kesadaran dan kecerdasannya mencoba mendobrak arus pendidikan mainstream.
Ia mengkolaborasikan pengetahuan Islam dengan pengetahuan umum, termasuk mempelajari huruf Latin sebagai misi memberantas buta huruf.
Kritik Terhadap Kebijakan Ordonansi Guru
Dalam catatan sejarah, Farid Setiawan (2020), pemerintah Belanda pernah mengeluarkan kebijakan melalui Staatsblad nomor 550 tentang Pengajaran Agama Islam atau dikenal dengan Ordonansi Guru, yang disusun di Bogor pada 2 November 1905 dan disahkan oleh J.B van Heutsz sebagai Gubernur Jendral dan De Groot sebagai Sekretaris.
Secara substansi, kebijakan tersebut sangat tidak berpihak pada Umat Islam. Sebaliknya, Belanda mengeluarkan kebijakan tersebut sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaannya di negeri jajahan.
Hal ini dikarenakan Belanda secara sadar melihat bahwa membiarkan penyelenggaraan pendidikan Islam yang menggurita dapat menjadi ancaman serius bagi eksistensinya di bumi jajahan.
Oleh sebab itu, dengan kebijakan politiknya Belanda membuat kebijakan Ordonansi Guru untuk membatasi ruang gerak pendidikan Islam dan diawasi secara ketat.
Bukan tanpa alasan belanda mengambil langkah demikian, hal ini dikarenakan oleh fakta sejarah bahwa sebagian besar perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu diinisiasi oleh lembaga pendidikan Islam atau Pesantren.
Pada awal kebijakan tersebut dikeluarkan tidak ada respon dari kalangan umat Islam itu sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, Muhammadiyah secara sadar dan kritis mulai merasakan dampak dari pemberlakuan Ordonansi Guru.
Puncak penolakan Muhammadiyah terhadap Ordonansi Guru terjadi pada kepemimpinan K.H. Ibrahim dan wakil 1-nya adalah H. Fachroddin.
H. Fachroddin lah yang menjadi aktor lantang menolak kebijakan Ordonansi Guru. Ia melihat bahwa kebijakan tersebut sangat merugikan umat Islam, khususnya sektor Pendidikan.
Puncaknya pada tahun 1920, H. Fachroddin bertemu beberapa guru agama Islam dari sekolah/Madrasah Muhammadiyah yang tidak dapat menyiarkan agama Islam secara bebas karena harus mendapat persetujuan dan izin resmi dari pemerintah kolonial Belanda.
Sejak saat itu, H. Fachroddin melalui berbagai forum umat Islam dan di media cetak selalu mengkampanyekan tuntutan untuk mencabut kebijakan Ordonansi Guru.
Puncaknya pada rapat tertutup (Komisi) 30 maret 1923 dan rapat terbuka (Pleno) 1 April 1923 Muhammadiyah secara resmi memutuskan agar Ordonansi Guru dicabut dengan mengeluarkan pernyataan sikap atau yang dikenal dengan “Motie Perserikatan”.
Perjuangan Masih Terus Berlanjut
Saat ini perjuangan Muhammadiyah dengan jalan pendidikan masih terus berlanjut. Jika dulu spirit perjuangannya adalah merebut kemerdekaan, maka hari ini spirit perjuangannya adalah menjaga keutuhan dan memajukan bangsa. Muhammadiyah secara konsisten menjalankan perintah UUD 1945 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”
Tercatat Muhammadiyah telah mendirikan banyak lembaga pendidikan hampir di seluruh wilayah Indonesia berjumlah total 3.334 dengan rincian jumlah SD 1.904, SMP 1.128, SMA 558, SMK 554, dan Perguruan Tinggi berjumlah 172 yang terdiri dari 83 Universitas, 28 Institut, 54 Sekolah Tinggi, 6 Politeknik, dan 1 Akademi.
Jika ditelusuri data jumlah lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada, melainkan melewati proses perjuangan panjang sejak awal pendirian hingga saat ini.