Radar Berita Indonesia – Di tengah era modern yang sering kali diwarnai oleh kepentingan politik dan pencitraan, hadir sosok Irwan Basir, SH, MM seorang tokoh masyarakat Minangkabau yang tetap kukuh dengan nilai-nilai keikhlasan, kepedulian sosial, dan komitmen terhadap adat dan budaya.
Irwan Basir dengan gelar adat Datuk Rajo Alam, ia dikenal sebagai pemimpin yang tidak hanya dihormati, tetapi juga dicintai oleh masyarakat.
Jabatan dan Kiprah Sosial, Irwan Basir menjabat sebagai:
– Ketua Majelis Pertimbangan Adat (MPA) KAN Pauh IX Kuranji, Padang
– Ketua DPD LPM Kota Padang
– Ketua Dekopinda Kota Padang
Melalui berbagai posisi strategis ini, Irwan Basir aktif merumuskan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, terutama dalam konteks pelestarian nilai-nilai adat dan pemberdayaan sosial ekonomi warga.
Pemimpin yang Memberi Tanpa Pamrih
Pada masa pandemi COVID-19, Irwan Basir menjadi teladan dalam aksi sosial. Ia menyalurkan bantuan berupa 24 ton beras, sembako, uang tunai, hingga bantuan bedah rumah dan fasilitas umum, seluruhnya menggunakan dana pribadi. Bantuan tersebut disalurkan tanpa balutan atribut politik atau pencitraan.
Hanya memberi, tak harap kembali. Bagaikan surya menyinari dunia. Itulah prinsip hidup yang ia pegang teguh.
Kepedulian Lintas Suku dan Generasi
Irwan Basir juga dikenal karena kedekatannya dengan berbagai kalangan. Ia aktif memberikan dukungan dan donasi untuk alumni SMPN 10 Padang, masyarakat terdampak bencana, hingga komunitas Perantau Nias dan kelompok lintas etnis lainnya.

Tak hanya dalam bentuk materi, ia juga hadir secara langsung di lokasi bencana seperti longsor, kebakaran, dan tsunami, menunjukkan kepemimpinan yang nyata dan bukan simbolik.
Pemimpin Adat yang Tegas dan Visioner
Sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Adat (MPA) Nagari Pauh IX Kuranji, Kota Padang, Irwan Basir berkomitmen untuk memperkuat regulasi adat yang adaptif dan relevan.
Irwan Basir menekankan bahwa lembaga adat harus tetap menjadi penjaga moral dan keadilan sosial di tengah perubahan zaman.
“Pemimpin itu harus mengayomi dan peduli pada semua masyarakat,” ujarnya dalam satu kesempatan.
Dengan kharisma dan integritas yang tinggi, ia menjadi panutan dan simbol kekokohan nilai-nilai Minangkabau.
Dedikasi untuk Pendidikan dan Budaya
Irwan Basir juga kerap hadir dalam kegiatan pendidikan dan budaya, termasuk di sekolah-sekolah seperti MTsN serta dalam acara refleksi sejarah seperti peringatan G30S/PKI, sebagai bentuk edukasi kebangsaan bagi generasi muda.
Kesimpulan: Sosok yang Langka di Zaman Ini
Irwan Basir bukan pengusaha besar atau pejabat hasil pemilu, namun ia membuktikan bahwa kekuasaan sejati datang dari pengabdian dan ketulusan.
Ia adalah contoh nyata bahwa pemimpin adat bisa tetap relevan, dihormati, dan mampu memberi dampak luas tanpa mengejar sorotan.
Dalam dirinya, nilai-nilai adat, kemanusiaan, dan keikhlasan menyatu dalam harmoni yang jarang ditemukan di era kini.
Pemimpin yang Dekat dengan Akar Rumput
Salah satu kekuatan utama Irwan Basir Datuk Rajo Alam adalah kedekatannya dengan masyarakat akar rumput. Ia tidak membedakan status sosial, latar belakang, atau suku bangsa.
Dalam berbagai kegiatan, mulai dari gotong royong membersihkan lingkungan hingga diskusi adat di lapau (warung kopi khas Minang), Irwan Basir hadir bukan sebagai elite yang mengatur dari atas, tetapi sebagai sahabat yang mendengar dan bergerak bersama rakyatnya.
Keberadaannya selalu memberi rasa aman dan kepercayaan. Masyarakat melihatnya sebagai orang yang “tidak berubah” meski telah memegang berbagai posisi penting. Nilai kesederhanaan menjadi ciri khasnya, bahkan ketika ia mampu menunjukkan keberhasilan secara ekonomi maupun politik.
Simbol Kolaborasi Antara Adat dan Pemerintahan
Dalam konteks Padang dan ranah Minangkabau yang kaya nilai-nilai adat, peran Irwan Basir sangat strategis sebagai jembatan antara struktur adat dengan sistem pemerintahan modern.
Ia sering diundang menjadi narasumber dalam forum-forum resmi maupun akademis, termasuk oleh pemda dan lembaga legislatif, untuk memberi perspektif adat dalam pembangunan.

Ia percaya bahwa pembangunan yang mengabaikan budaya akan menghasilkan ketimpangan sosial.
Oleh karena itu, ia mendorong agar lembaga adat tetap dilibatkan dalam penyusunan kebijakan publik, terutama yang menyangkut tanah ulayat, struktur sosial nagari, dan konflik horizontal.
Penghargaan Masyarakat: Pemimpin Tanpa Sekat
Dalam pandangan masyarakat, Irwan Basir bukan hanya sekadar ketua atau tokoh adat, tetapi seorang pemimpin spiritual dan moral.
Banyak tokoh muda dan pemuda Minang yang menjadikannya panutan, bukan karena pencitraan di media, tetapi karena rekam jejak nyata dan konsistensi dalam mengabdi.
Bahkan dalam forum informal, ia kerap disapa dengan penuh hormat namun akrab, seperti:
“Datuk urang awak yang indak barubah”. (Datuk kita yang tidak berubah)
Itulah bentuk tertinggi dari kepercayaan dan cinta masyarakat pengakuan tulus atas integritas yang langka.
Harapan dan Warisan Nilai
Irwan Basir menyadari bahwa jabatan dan pengaruh bersifat sementara. Karena itu, ia lebih fokus pada membangun warisan nilai mendorong generasi muda untuk memahami adat, menjunjung tinggi kejujuran, dan menjaga kemanusiaan dalam tindakan sehari-hari.
“Kalau kita mati, jabatan hilang. Tapi kalau kita tinggalkan nilai, itu akan hidup terus,” ungkapnya dalam satu acara adat di Pauh IX.
Cahaya dari Minangkabau
Irwan Basir Datuk Rajo Alam bukan hanya milik Kuranji atau Padang, melainkan cahaya dari Minangkabau seorang tokoh yang telah membuktikan bahwa kekuatan moral, keberanian, dan kesederhanaan bisa berjalan seiring.
Dalam setiap langkahnya, ia menanamkan harapan bahwa masih ada pemimpin yang memberi bukan untuk dipuji, tetapi karena panggilan jiwa.
Jejak Pengabdian Irwan Basir
Pengabdian Irwan Basir tidak berhenti di ruang publik dan seremonial. Ia dikenal rajin menyambangi rumah-rumah warga yang sedang mengalami kesulitan, tanpa protokol atau sorotan media.
Ketika warga kehilangan anggota keluarga, tertimpa musibah, atau sekadar butuh pendengar, Irwan Basir datang sebagai Datuk, bukan pejabat.
Jejak ini sudah ia bangun sejak muda. Ia tumbuh besar dalam kultur masyarakat Pauh IX yang kuat menjaga nilai sakato (kebersamaan) dan bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat) falsafah Minang yang menuntun arah kepemimpinannya hingga kini.
Filosofi Hidup: “Datang untuk Melayani, Bukan Dilayani”
Irwan Basir menjalani hidup dengan prinsip pelayan umat. Bagi dia, kepemimpinan adalah soal tanggung jawab moral, bukan sekadar kedudukan.
Maka tak heran, meski banyak ditawari jabatan struktural dan peluang politik, ia lebih memilih tetap berjuang di ranah sosial dan adat.
“Hidup ini bukan soal siapa yang dikenal banyak orang, tapi seberapa banyak orang yang merasa terbantu karena kita,” kata Irwan Basir dalam sebuah dialog adat.
Ia menjadi simbol kepemimpinan yang menolak politik transaksional, memilih untuk membangun relasi berbasis nilai dan kepercayaan.
Inspirasi Bagi Generasi Muda
Di tengah krisis teladan dalam kepemimpinan nasional dan lokal, sosok seperti Irwan Basir sangat dibutuhkan. Ia tidak hanya memberi contoh, tetapi mendidik secara diam-diam melalui konsistensinya.
Banyak pemuda Minangkabau yang kembali menoleh kepada adat, akar budaya, dan pentingnya hidup dalam pengabdian setelah bersentuhan dengan pemikiran atau program-program sosial yang ia gagas.
Irwan Basir juga kerap menjadi narasumber dalam diskusi kepemudaan, pelatihan nagari, hingga forum lintas agama. Dalam setiap kesempatan itu, ia selalu mengingatkan bahwa adat dan agama adalah tiang kehidupan orang Minang, dan kehilangan keduanya berarti kehilangan jati diri.
Relevansi Sosok Irwan Basir di Zaman Kini
Ketika banyak pemimpin lebih sibuk membangun citra digital, Irwan Basir membangun rekam jejak sosial. Di tengah masyarakat yang mulai jenuh dengan formalitas dan retorika politik, ia hadir sebagai penyejuk: pemimpin lokal dengan skala dampak nasional.
Perannya sebagai tokoh adat membuktikan bahwa kearifan lokal bukan warisan usang, tapi bisa menjadi kompas dalam menghadapi kompleksitas sosial modern terutama dalam hal keberagaman, konflik agraria, dan penguatan peran masyarakat sipil.
Epilog: Warisan Tanpa Nama di Batu Nisan
Jika suatu hari nama Irwan Basir hanya tinggal sejarah, maka ia ingin dikenang bukan karena gelar, kekayaan, atau jabatan, tetapi karena apa yang telah ia berikan kepada masyarakat dengan tulus.
“Nama saya boleh hilang dari papan nama, tapi kalau nilai yang saya bawa bisa hidup di hati masyarakat, itu cukup.”
Dan memang, masyarakat Minangkabau telah lebih dulu mengukir nama itu bukan di prasasti marmer, tapi dalam ingatan kolektif mereka yang pernah disentuh oleh sosok sederhana, kuat, dan penuh cinta bernama Irwan Basir Datuk Rajo Alam.
Penulis: Dedi Prima Maha Rajo Dirajo.