Radar Berita Indonesia | Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel dua perusahaan pengolah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Penyegelan dilakukan sebagai tindak lanjut atas temuan dugaan pelanggaran pengelolaan limbah oleh tim pengawas di lapangan.
“Dua perusahaan telah kami segel yakni PT HDN dan PT HTI, terkait dugaan pelanggaran pengelolaan limbah B3,” ujar Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK, Irjen Pol. Rizal Irawan, pada Senin 19 Mei 2025.
Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK, Irjen Pol. Rizal Irawan, menjelaskan bahwa PT HDN diduga melanggar ketentuan persetujuan lingkungan dan teknis dalam pengelolaan limbah B3, khususnya untuk kegiatan pengumpulan limbah.
“PT HDN melakukan kegiatan pengangkutan dan pengumpulan limbah B3 yang tidak tercantum dalam dokumen lingkungan kawasan Central Cikarang Industrial Park,” ungkap Rizal.

Kegiatan tersebut dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengharuskan adanya RKL-RPL rinci berdasarkan persetujuan lingkungan kawasan.
Lebih lanjut, PT HDN juga diketahui mengumpulkan limbah B3 hingga ke wilayah Kabupaten Karawang, melebihi batas wilayah yang tercantum dalam persetujuan teknis yang hanya mencakup Kabupaten Bekasi.
Sementara itu, PT HTI disinyalir melakukan kegiatan pengelolaan limbah B3 tanpa memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), serta tanpa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR).
“Kedua dokumen ini merupakan syarat mutlak sebelum perusahaan menjalankan kegiatan, sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,” ujar Rizal.
Direktur Pengaduan dan Pengawasan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ardyanto Nugroho, turut menyoroti pelanggaran serius yang dilakukan PT HTI.
Ia mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan pengelolaan terhadap limbah B3 yang dihasilkan dari proses produksi metal stamping, seperti oli bekas.
“Ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang,” jelas Ardyanto.
Ia menegaskan bahwa setiap pelaku usaha wajib mengelola limbah B3 yang dihasilkannya, sebagai bentuk tanggung jawab hukum dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat.
“Saya kembali menegaskan bahwa seluruh pelaku usaha wajib patuh terhadap ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup sebagai bagian dari komitmen menjaga keberlanjutan ekosistem dan perlindungan masyarakat,” tegasnya.