Radar Berita Indonesia – Portal kayu berdiri tegak di depan akses utama SMAN 3 Tangerang Selatan. Di atasnya, membentang spanduk putih bertuliskan “33 Anak Kami Berhak Sekolah!” sebuah seruan yang menggema dari jantung Kelurahan Benda Baru sejak awal Juli 2025.
Ketegangan mencuat sejak Rabu (2/7/2025), ketika warga memutuskan menutup akses jalan menuju sekolah favorit tersebut. Bukan tanpa sebab, langkah itu mereka ambil sebagai bentuk protes atas belum diterimanya 33 calon siswa dari lingkungan sekitar dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Aksi ini pun membuat aparat Satpol PP Tangsel harus turun tangan.
Namun, bukan ketegangan fisik yang terjadi, melainkan tarik-ulur antara keinginan masyarakat dan kebijakan negara yang dirasa tak menyentuh keadilan sosial.
“Ini bukan soal emosi, tapi soal rasa keadilan. Kami dulu ikut bangun sekolah ini. Kami hanya ingin anak-anak kami diberi tempat,” ujar Mujianto, Ketua RW 15 yang menjadi garda depan aksi warga.
Mujianto menegaskan bahwa warga tidak akan membuka portal sebelum ada kejelasan. Menurutnya, sekolah sudah seharusnya memberikan afirmasi kepada lingkungan sekitar yang selama ini mendukung keberadaannya.
Antara Aspirasi dan Aturan
Sementara itu, pihak Satpol PP Kota Tangsel mencoba menavigasi situasi dengan pendekatan persuasif.
Kepala Bidang Penegakan Hukum dan Perundang-undangan, Muksin Al Fahri, menyampaikan bahwa penyampaian aspirasi adalah hak setiap warga negara.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa penutupan akses publik tetap merupakan pelanggaran hukum.
“Kami menghormati aspirasi warga. Tapi perlu diingat, penutupan jalan melanggar Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2025 tentang Ketertiban Umum,” tegas Muksin.
Meski demikian, tidak tampak upaya represif dari aparat. Satpol PP memilih membangun komunikasi, menjadwalkan dialog lanjutan bersama tokoh masyarakat untuk mencari titik temu.
Kecewa dengan Sistem PPDB
Protes warga berakar pada kekecewaan terhadap sistem PPDB daring yang dianggap tidak berpihak pada anak-anak dari lingkungan sekitar. Banyak dari mereka tinggal dalam radius sangat dekat dengan sekolah, namun tetap tidak lolos karena terbentur sistem zonasi dan seleksi nilai.
“Anak saya ranking 3 di kelas. Rumah kami hanya 150 meter dari sekolah. Tapi tetap tidak diterima,” keluh salah satu orang tua yang turut menjaga portal.
Warga Benda Baru menilai, sistem seleksi yang dianggap terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan keterlibatan warga dalam sejarah berdirinya sekolah menjadi titik api yang menyulut emosi kolektif warga Kelurahan Benda Baru.
Aksi Berlanjut, Solusi Ditunggu
Hingga Kamis (3/7/2025), portal kayu dan spanduk tuntutan masih berdiri. Aktivitas di SMAN 3 pun berjalan terbatas. Sementara perwakilan sekolah sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait tuntutan warga.
Di balik blokade kayu itu, ada puluhan anak yang menanti kabar. Ada harapan yang menunggu dikabulkan, dan ada kepercayaan pada sistem pendidikan publik yang dipertaruhkan.
Warga dan Satpol PP dijadwalkan akan kembali duduk bersama untuk mencari solusi.
Namun satu hal yang jelas: bagi warga Benda Baru, perjuangan ini bukan hanya soal masuk sekolah ini soal pengakuan, keadilan, dan janji negara yang mereka rasa belum ditepati.
Redaksi Radar Berita Indonesia akan terus memantau perkembangan kasus ini dan membuka ruang bagi semua pihak baik warga, sekolah, maupun pemerintah daerah untuk menyampaikan pandangan mereka secara adil dan proporsional.